Beranda | Artikel
Di Mana Allah (Bagian ke-2)
Sabtu, 13 Oktober 2012

Dalil-dalil dari Sunnah yang menetapkan sifat ‘Uluw bagi Allah

Oleh: Dr. Ali Musri Semjan Putra,MA

Pada bagian pertma dari bahasan ini telah kita sebutkan sebahagian dari ayat-ayat Al Qur’an yang menegaskan bahwa Allah bersifat ‘Uluw (Maha Tinggi) di atas segala makhluk. Maka pada bagian kedua dari lanjutan bahasan ini kita kemukakan dalil-dalil dari Sunnah (hadits-hadits) yang menetapkan sifat ‘Uluw bagi Allah. Karena keterbatasan waktu dan begitu banyaknya hadist-hsdits yang berkenaan sifat ‘Uluw, maka penulis hanya menyebutkan sebahagian kecil dari hadits-haditst yang berkenaan dengan sifat ‘Uluw tersebut.

Hadits-hadits tersebut akan kita susun berdasarkan bentuk-bentuk redaksinya dalam menetapkan sifat ‘Uluw bagi Allah. Kemudian pada setiap macam dari redaksi tersebut kita sebutkan satu hadits atau paling banyak tiga hadits saja jika hal tersebut diperlukan.

Redaksi pertama: Bahwa manusia mengangkat dan membuka dua telapak tangannya ke arah atas ketika berdo’a kepada Allah. Hal ini menunjukkan bahwa Allah berada pada arah atas.

Seperti disebutkan dalam hadits berikut ini:

«ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِىَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ ».

“Kemudian ia menyebutkan seorang laki-laki yang telah melakukan perjalanan yang jauh, rambutnya kusut, badanya berdebu. Ia mengangkat kedua tangannya ke arah langit (sambil berdo’a): Ya Robb, Ya Robb. Sedangakan makananya harm, minumannya haram, pakaiannya haram dan ia dibesarkan dengan yang haram, dimana Allah akan mengabulkan do’anya”[1. HR. Muslim no (2393).].

Dalam hadits lain disebutkan:

«إِنَّ رَبَّكُمْ تَبَارَكَ وَتَعَالَى حَيِيٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحْيِى مِنْ عَبْدِهِ إِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ إِلَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا».

“Sesungguhnya Robba kalian adalah Maha Malu lagi Maha Pemberi, Ia malu dari hambaNya apa bila mengangkat dua tangannya kepadaNya, ia kembalikan dalam keadaan kosong”[2. HR. Abu Daud no (1490) dan Tirmizy no (3556).].

Hadits yang menerangkan tentang mengangkat tangan ketika berdo’a sangat banyak sekali. Bahkan para ulama menyebutkan bahwa mengangkat tangan adalah termasuk adab-adab dalam berdo’a dan merupakan salah satu sebab untuk dikabulkannya do’a.

Berkata imam Shan’any: “Sungguh telah diakui tentang mengangkat tangan ketika berdo’a dalam beberapa hadits, imam Munziry telah mengumpulkannya dalam sebuah karya tulis. Berkata imam Nawawy: aku telah mengumpulakan dalamnya sekitar tiga puluh hadits dari dua kita shohih (Buhkari dan Muslim) atau salah satu keduanya. Ia (imam Nawawy) telah menyebutkannya di akhir bab sifat shalat dalam syarah Muhazzab”[3. Lihat “Subulussalam”: 2/79.].

Di syari’atkannya mengangkat ke arah ke atas adalah karena Zat yang tempat kita meminta berada di atas kita. Hal ini dirasakan oleh setiap orang yang sedang berdo’a dalam sanubarinya. Artinya gerakan tangan mengikuti apa yang dikatakan hati kita. Oleh sebab itu imam Juwaini ketika ditanya oleh salah seorang yang menghadiri majlisnya: bagaimana cara melawan kondisi hati ketika saat berdo’a selalu meminta kearah atas? Imam Juwaini tidak bisa menjawabnya dan ia turun dari kursinya sambil memukul-mukul kepalanya lalu berkata: aku dibingungkan oleh Hamadani, aku dibingungkan oleh Hamadani (nama penanya tsb)[4. Lihat kisah tersebut dalam “Siyar A’lam Nubalaa’ : 18/475.].

 

Redaksi kedua: Rasulullah r menyebutkan dalam sabdanya bahwa para malaikat yang mencatat amalan manusia ditanya Allah ketika mereka telah naik kelangit. Hal ini menunjukkan bahwa Allah berada di atas lengit. Sebagaimana terdapat dalam sabda Rasulullah r:

« يَتَعَاقَبُونَ فِيكُمْ مَلاَئِكَةٌ بِاللَّيْلِ وَمَلاَئِكَةٌ بِالنَّهَارِ وَيَجْتَمِعُونَ فِى صَلاَةِ الْفَجْرِ وَصَلاَةِ الْعَصْرِ ثُمَّ يَعْرُجُ الَّذِينَ بَاتُوا فِيكُمْ فَيَسْأَلُهُمْ رَبُّهُمْ وَهُوَ أَعْلَمُ بِهِمْ كَيْفَ تَرَكْتُمْ عِبَادِى فَيَقُولُونَ تَرَكْنَاهُمْ وَهُمْ يُصَلُّونَ وَأَتَيْنَاهُمْ وَهُمْ يُصَلُّونَ ».

“Saling bergantian di tengah-tengah kalian malaikat yang bertugas di waktu malam dan malaikat yang bertugas di wakti siang. Dan mereka bertemu di waktu shalat asar dan di waktu shalat subuh. Kemudian mereka yang telah bertugas naik (kelangit), lalu Robb mereka bertanya kepada mereka –dan Ia lebih tahu tentang hal keadaan mereka- bagaimana keadaan hambaku saat kalian tinggalkan? Para malaikat tersebut menjawab: kami tinggalkan mereka dalam keadaan sedang shalat dan kami temui mereka dalam keadaan sedang shalat juga”[5. HR. Bukhari no (7048) dan Muslim no (1464).].

Dalam hadits yang lain, yaitu tentang para malaikat yang menghadiri majlis zikir, setelah mereka selesai mereka naik kelangit lalu Allah bertanya kepada mereka, hal ini juga menunjukkan bahwa Allah berada di atas langit. Sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini:

«فَإِذَا تَفَرَّقُوا عَرَجُوا وَصَعِدُوا إِلَى السَّمَاءِ – قَالَ – فَيَسْأَلُهُمُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَهُوَ أَعْلَمُ بِهِمْ مِنْ أَيْنَ جِئْتُمْ فَيَقُولُونَ جِئْنَا مِنْ عِنْدِ عِبَادٍ لَكَ فِى الأَرْضِ يُسَبِّحُونَكَ وَيُكَبِّرُونَكَ وَيُهَلِّلُونَكَ وَيَحْمَدُونَكَ وَيَسْأَلُونَكَ».

“Apbila mereka telah selesai, mereka naik kelangit. Maka Allah bertanya kepada mereka –dan Ia lebih tahu tentang keadaan mereka- dari mana kalian datang? Para malaikat tersebut menjawab: kami datang dari sisi para hamba-Mu di bumi, mereka bertasbih , bertakbir, bertahmid dan berdo’a kepada-Mu”[6. HR. Bukhari no (6045) dan Muslim no (7015).].

Hal ini sudah diyakini oleh setiap muslim bahwa para malaikat yang mencatat amalan manusia naik ke langit setiap pagi dan sore untuk melaporkan amalan manusia kepada Allah. Kalau seandainya Allah berada di setiap tempat, tentulah malaikat melaporkannya di mana saja tidak perlu harus naik kelangit untuk melaporkannya kepada Allah.

Redaksi ketiga: Rasulullah r menyebutkan bahwa Allah-lah yang menurunkan kitab-kitab suci kepada para rasul-Nya, kemudian Rasulullah menfsirkan nama Allah “Azh Zhohir” bahwa tiada sesuatupun yang lebih tinggi dari-Nya, sebagaimana sabda Rasulullah r:

«اللَّهُمَّ رَبَّ السَّمَوَاتِ وَرَبَّ الأَرْضِ وَرَبَّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ رَبَّنَا وَرَبَّ كُلِّ شَىْءٍ فَالِقَ الْحَبِّ وَالنَّوَى وَمُنْزِلَ التَّوْرَاةِ وَالإِنْجِيلِ وَالْفُرْقَانِ أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ كُلِّ شَىْءٍ أَنْتَ آخِذٌ بِنَاصِيَتِهِ اللَّهُمَّ أَنْتَ الأَوَّلُ فَلَيْسَ قَبْلَكَ شَىْءٌ وَأَنْتَ الآخِرُ فَلَيْسَ بَعْدَكَ شَىْءٌ وَأَنْتَ الظَّاهِرُ فَلَيْسَ فَوْقَكَ شَىْءٌ وَأَنْتَ الْبَاطِنُ فَلَيْسَ دُونَكَ شَىْءٌ اقْضِ عَنَّا الدَّيْنَ وَأَغْنِنَا مِنَ الْفَقْرِ».

Ya Allah, Pencipta langit dan bumi, Pemilik ‘Arasy yang agung, Rabb kami dan Robb segala sesuatu, Yang membelah bijian, Yang menurunkan Taurat, Injil dan Furqan (Al Qur’an). Aku berlindung dengan-Mu dari kejahatan segala sesuatu, Engkaulah yang memegang ubun-ubunnya. Ya Allah, Engkaulah Yang Maha Pertama tiada sesuatupun sebelum Engkau, Engkaulah Yang Maha Terakhir tiada sesuatupun setelah Engkau, Engkaulah Yang Maha Zhohir tiada sesuatupun di atas Engkau, Engkaulah Yang Maha batin tiada sesuatupun yang lebih tersenbunyi dari-Mu, bebaskahlah kami dari hutang dan jauhkanlah kami dari kefakiran”[7. HR. Muslim no (5053).].

Dalam hadits di atas terdapat pernyataan bahwa kitab suci; Taurat, Injil dan Al Qur’an diturnkan oleh Allah. Hal ini menunjukkan bahwa Allah berada di atas seluruh makhluk. Karena kalau Allah berada di setiap temapt dengan Zat-Nya tentu penggunaan kata menurunkan tidak tepat sama sekali.

Kemudian dalam hadits tersebu t terdapat penjelasan Rasulullah r tentang makna nama Allah “Azh Zhohir” yaitu: Engkaulah Yang Maha Zhohir tiada sesuatupun di atas Engkau. Hal ini menunjukkan bahwa bahwa Allah berada di tempat yang Maha Tinggi di atas seluruh makhluk, tiada satupun yang lebih tinggi dari Allah.

Kalau seandainya Allah berada di setiap tempat dengan Zat-Nya, tentu ada yang lebih tinggi dari Allah, dan Allah berada di anatara, atau di dalam, atau di bawah sebahagian makhluk! Hal ini tidak diragukan lagi kebatilannya.

Redaksi keempat: Bahwasanya para malaikat berbaris rapi di sisi Allah, sebagaimana sabda Rasulullah r:

«أَلاَ تَصُفُّونَ كَمَا تَصُفُّ الْمَلاَئِكَةُ عِنْدَ رَبِّهِمْ جَلَّ وَعَزَّ. قُلْنَا وَكَيْفَ تَصُفُّ الْمَلاَئِكَةُ عِنْدَ رَبِّهِمْ قَالَ « يُتِمُّونَ الصُّفُوفَ الْمُقَدَّمَةَ وَيَتَرَاصُّونَ فِى الصَّفِّ».

“Mengapa kalian tidak berbaris sebagaimana para malaikat berbaris di sisi Robb mereka. Para sahabat bertanya; bagaimana para malaikat berbaris di sisi Robb mereka? Jawab beliau: mereka menyempurnakan shaf yang terdepan dan merepatkan shaf” [8. HR. Abu Daud no (661) dan Nasa’i no (816).].

Sudah dimaklumi oleh stiap muslim yang mengetahui tentang ajaran Islam bahwa para malaikat tersebut berbaris adalah di langit. Tentu sudah sangat dipahami jika mereka berbaris di sisi Allah, bahwa Allah itu berada di atas langit. Kalau Allah berada dimana-mana tentu manusia pun bisa disebut berbaris di sisi Allah, maka hal ini menafikan makna hadits tersebut yang menunjukkan tentang keistimewaan para malaikat.

 

Redaksi kelima: menggunakan kata-kata di langit untuk menyatakan tentang Allah. Sebagaiamana sabda Rasulullah r berikut ini:

Hadits Pertama:

«أَلاَ تَأْمَنُونِى وَأَنَا أَمِينُ مَنْ فِى السَّمَاءِ يَأْتِينِى خَبَرُ السَّمَاءِ صَبَاحًا وَمَسَاءً».

“Apakah engkau tidak mempercayai aku! (sedangkan Aku) kepercayaan siapa yang di langit (Allah). Datang kepadaku berita langit setiap pagi dan sore”[9. HR. Bukhary no (4094) dan Muslim no (2500).].

Hadits kedua:

«ارْحَمُوا مَنْ فِي الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِى السَّمَاءِ».

”Sangilah siapa yang di bumi niscaya kalian akan dirahmati oleh siapa yang di langit (Allah) [10. HR. Abu Daud no (4943) dan Tirmizy no (1924).].

Hadits ketiga:

« وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ مَا مِنْ رَجُلٍ يَدْعُو امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهَا فَتَأْبَى عَلَيْهِ إِلاَّ كَانَ الَّذِى فِى السَّمَاءِ سَاخِطًا عَلَيْهَا حَتَّى يَرْضَى عَنْهَا ».

”Demi Zat yang jiwaku berada di tanganNya, tidaklah seorang suami yang mengajak isterinya ketempat tidur lalu iterinya enggan, kecuali Yang di langit (Allah) marah kepada sang isteri sampai sang suami redha terhadapnya” [11. HR. Muslim no (3613).].

Telah dijelaskan pada bagian pertama tulisan ini bahwa maksud dari ungkapan bahwa Allah berada di atas langit bukan berarti bahwa langit bersentuhan dengan Allah. Sebagaimana ungkapan kita bahwa langit di atas bumi bukan berarti bahwa langit menepel ke bumi, akan tetapi keduanya memiliki jarak ratusan juta ribu mil. Jika demikian halnya maka tidak ada kontradiksi antara ayat yang menyebut Allah beristiwaa’ di atas ‘Arasy dengan ayat yang menyebutkan Allah di atas langit. Karena ‘Arasy berada di atas langit sekalipun jarak anatara langit dan ‘Arasy sangat jauh sekali.

Karena itu huruf Fii dalam lafaz hadits-hadits di atas diartikan dengan huruf ‘alla[12. lihat kitab “Asmaa’ wash shifaat” / Imam Baihaqy: 2/236.].

Hal ini sangat jelas dalam hadits yang kedua: ”Sangilah siapa yang di bumi”. Maksudnya adalah makhluk yang di muka bumi, bukan makhluk yang adalam perut bumi.

Namun bila huruf Fii tetap pada maknannya yang asli (pada), maka langit dalam ayat di atas bermakna arah yang tinggi. Karena dalam bahasa Arab stiap arah yang tinggi boleh disebut langit[13. lihat tafsir Ibnu ‘Athiyah: 1/92. Atau edisi sebelumnya (112) , hal: 15 redaksi kelima dari redaksi ayat-ayat tentang ‘Uluw.].

 

Redaksi Keenam: Rasulullah r menggunakan redaksi pertanyaan dengan kata: أَيْنَ (dimana?).

Sebagaimana terdapat dalam hadits berikut ini, ketika Rasulullah r menguji keimanan seorang budak perembuan yang hendak dimerdekan oleh tuannya:

فَقَالَ لَهَا « أَيْنَ اللَّهُ ». قَالَتْ فِى السَّمَاءِ. قَالَ « مَنْ أَنَا ». قَالَتْ أَنْتَ رَسُولُ اللَّهِ. قَالَ « أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ ».

Rasulullah r bertanya kepadanya (budak wanita): dimana Allah? Ia menjawab: di langit. Lalu beliau bertanya lagi: siapa saya? Ia menjawab: engkau adalah rasulullah (utusan Allah). Beliau bersbada: merdekakanlah dia, sesungguhnya dia adalah wanita yang beriman” [14. HR. Muslim no (1227).].

Dalam hadits ini terdapat tiga sisi yang menunjukkan tentang sifat ‘Uluw bagi Allah:

      Sisi pertama: Rasululla menggunaka huruf istifham (mengemukan pertanyaan) dengan kata أَيْنَ (dimana?). Pertanyaan tersebut digunakan untuk menanyakan tempat, yang tidak mungkin ditakwil dengan makna-makna lain. Hal ini kesepakatan seluruh pakar bahasa.

      Sisi kedua: Jawaban budak siperempuan dengan kata-kata yang tegas dan jelas: Ia menjawab: di langit. Dan jawaban tersebut tidak disanggah sedikitpun oleh Rasulullah r. Kalau senadainya jawaban tersebut salah, tidak mungkin Rasulullah r diam terhadap kesalahan yang cukup fatal. Rasulullah r tidak pernah metoleril sebuah kesalahan dalam urusah agama apalagi masalah aqidah.

      Sisi ketiga: Rasululull r memberikan penilaian terhadap jawaban budak perempuan tersebut dengan mengatakan: “Merdekakanlah dia, sesungguhnya dia adalah wanita yang beriman”.

Hal ini menunjukkan bahwa jawaban budak perempuan tersebut sebagai bukti atas keimanannya. Seandainya budak tersebut menjawab bahwa Allah dimana-mana, tentulah ia akan dianggap belum beriman. Suatu hal yang sangat mengherankan pertanyaan yang bisa dijawab oleh sorang budak perempuan di zaman Rasulullah r tidak bisa jawab oleh sebahagian profesor di zaman moderen ini. Dan yang lebih fata lagi adalah menyalahakan jawaban tersebut, dan menghukum orang-orang yang setuju dengan jawaban tersebut sebagai golongan sesat.

Redaksi ketujuh: Rasulullah r menyebutkan dalam sbadanya nama Allah “Al ‘Aliyyu”, yang menunjukkan bahwa Allah Maha Tinggi secara mutlak, baik dari segi kedudukan, kekuasaan maupun zat. Sebagaimana sabda Rasulullah r:

))إذا قضى الله في السماء أمرا ضربت الملائكة بأجنحتها خضعانا لقوله كأنه سلسلة على صفوان فإذا فزع عن قلوبهم قالوا ماذا قال ربكم ؟ قالوا الحق وهو العلي الكبير((.

“Apabila memutuskan suatu perkara di langit, para malaikat meletakan sayab-sayab mereka dengan penuh tunduk untuk mendengarkan perkataan Allah, (bunyinya) seakan-akan suara rantai di atas batu. Apabila rasa takut telah hilang dari hati mereka, (sebahagian) mereka berkata: Apa yang wahyukan oleh Rabb kalian? (sebahagian) Mereka mejawab: Al Haq (kebenaran) dan Dia adalah Maha Tinggi lagi Maha Besar” [15. HR. Bukhary no (4424).].

Dalam hadits lain:

عن ابن عباس t: ((أن نبي الله r كان يدعو عند الكرب لا إله إلا الله العلي الحليم …))

“Dari Ibnu Abbas t bahwa Nabi Allah r berdo’a ketika dalam kesulitan: “Tiada yang berhak disembah kecuali Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Lembut ….”[16. HR. Tirmizy no (3435) menurut Tirmizy hadits ini adalah hasan shahih.].

Nama  Allah “Al ‘Aliyyu”, tidak oleh dibatasi maknanya pada dua sisi saja; yaitu sisi Qadar (kemulian) dan sisi Al Qohar (kekuasaan), akan tetapi mencakup dalam sisi Zat, yaitu bahwa Zat Allah Maha Tinggi di atas seluruh makhluk. Karena Zat Allah tidak bersentuhan atau tidak bercampur dengan zat makhluk.

 

Redaksi kedelapan: Rasulullah r mengarahkan telunjuknya kearah langit ketika memohon persaksian Allah atas jawaban para sahabat terhadap pertanyan yang beliau lontarkan kepada mereka. Sebagaimana dalam hadits berikut ini:

«وَأَنْتُمْ تُسْأَلُونَ عَنِّى فَمَا أَنْتُمْ قَائِلُونَ؟ قَالُوا نَشْهَدُ أَنَّكَ قَدْ بَلَّغْتَ وَأَدَّيْتَ وَنَصَحْتَ. فَقَالَ بِإِصْبَعِهِ السَّبَّابَةِ يَرْفَعُهَا إِلَى السَّمَاءِ وَيَنْكُتُهَا إِلَى النَّاسِ « اللَّهُمَّ اشْهَدِ اللَّهُمَّ اشْهَدْ ». ثَلاَثَ مَرَّاتٍ.

”Kalian akan ditanya tentangku, apakah yang akan kalian katakan? Jawab parahabat: kami bersaksi bahwa sesungguhnya engkau talah menyampaikan (risalah), telah menunaikan (amanah) dan telah menasehati. Maka ia berkata dengan mengangkat jari telunjuk kearah langit, lalu ia balikkan ke manusia: Ya Allah saksikanlah, Ya Allah saksikanlah, sebanyak 3x” [17. HR. Muslim no (3009).].

Hadits ini adalah pukulan telak bagi kelompok hululiyah (golongan yang menyatakan bahwa zat Allah berada di mana-mana atau berada di setiap tempat). Karena hadits ini tidak bisa ditakwil dengan makna-makna yang mereka inginkan. Sebab Rasulullah r mengunakan isyarat dengan telunjuk yang diiringi dengan ucapan: “Ya Allah saksikanlah, Ya Allah saksikanlah, sebanyak 3x”. Dengan maksud: Ya Allah yang berada di atas, saksikanlah jawaban umatku ini.

Dalam hadits ini juga terdapat bantahan terhadap orang-orang ahli kalam, yang mengharamkan dan melarang mengarahkan telunjuk ke arah atas langit ketika menyatakan tentang Allah.

Redaksi kesembilan: Rasulullah r menyebutkan bahwa Allah turun ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir. Sebagaimana dalam sabda beliau:

« يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ فَيَقُولُ مَنْ يَدْعُونِى فَأَسْتَجِيبَ لَهُ وَمَنْ يَسْأَلُنِى فَأُعْطِيَهُ وَمَنْ يَسْتَغْفِرُنِى فَأَغْفِرَ لَهُ ».

”Rabb kita kita turun setiap malam ke langit dunia ketika tersisa sepertiga malam terakhir. Ia berkata: barangsiapa yang berdo’a kepada-Ku akan Aku perkenankan, barangsiapa yang meminta kepada-Ku akan Aku beri dan barangsiapa yang memohon ampunan kepada-Ku akan Aku ampuni”[18. HR. Bukhari no (7056) dan Muslim no (1808).].

Kata-kata turun dalam seluruh bahasa umat manusia adalah memiliki arti dari tempat yang lebih tinggi ketempat yang lebih rendah. Kalau seandainya Allah berada di mana-mana dengan zat-Nya maka tentu tidak mungkin disebut turun. Karena kalau Allah berada di setiap tempat, tentu termasuk di langit dunia, langit kedua, ketiga dan seterusnya. Tentu bisa pula dikatankan bahwa Allah juga turun kelangit yang kedua, ketiga dan seterusnya. Ini bukti bahwa Allah berada di arah yang paling tinggi dan tidak berada di setiap tempat dengan zat-Nya.

Perlu dipahami disini, bahwa turunnya Allah tidak sama seperti turunnya makhluk. Karena sifat-sifat Allah tidak serupa dengan sifat-sifat makhluk. Karena bila makhluk turun dari tingkat yang lebih tinggi kepada tingkat yang lebih rendah, maka posisinya berada dibawah tingkat yang lebih tinggi. adapun Allah ketika turun kelangit dunia tidak berarti bahwa ia berada dibawah langit yang kedua, ketiga dan seterusnya. Sebab Allah senantiasa berada di atas seluruh makhluk walaupun saat turun kelangit dunia, karena sifat Allah tidak menyerupai sifat-sifat makhluk.

Hadits di atas tidak bisa ditakwil, bahwa yang turun adalah malaikat atau rahmat. Sebab bila ditakwil dengan malaikat atau rahmat, mana mungkin malaikat dan rahmat berkata: “barangsiapa yang berdo’a kepada-Ku akan Aku perkenankan, barangsiapa yang meminta kepada-Ku akan Aku beri dan barangsiapa yang memohon ampunan kepada-Ku akan Aku ampuni“. Kata-kata tersebut tidak mungkin diucapkan oleh siapapun kecuali Allah semata.

Redaksi kesepuluh: Rasulullah r menyebutkan dalam sabdanya bahwa amal sholeh diangkat naik kepada Allah. Sebagaimana dalam sabda beliau berikut ini:

 ((من تصدق بعدل تمرة من كسب طيب ولا يصعد إلى الله إلا الطيب فإن الله يتقبلها بيمينه ثم يربيها لصاحبها كما يربي أحدكم فلوه حتى تكون مثل الجبل)).

“Barangsiapa yang bersedekah sebesar biji kurma dari usaha yang halal, dan tidak akan diangkat naik kepada Allah kecuali yang baik, maka Allah menerimanya dengan tangan kananNya, kemudian Allah memeliharanya untuk pemiliknya sebagaimana salah seorang kalian memelihara anak kudnya, sehingga ia menjadi seprti gunung”[19. HR. Bukhari no (6993).].

Kata-kata diangkat naik kepada Allah tidak bisa ditakwil dengan diterima, karena setelah itu disebutkan Allah menrimanya dengan tangan kananNya. Kalau kata diangkat naik kepada Allah ditakwil dengan diterima! Hal ini akan memberi cacat pada konteks dan redaksi hadits tersebut. Karena terjadi pengulangan yang tidak ada penambahan dalam makna, hal ini jauh dari kefasihan dalam bahasa Arab. Sedangkan Rasulullah r adalah manusia yang paling fasih dalam bahasa Arab.

Dalam sabda yang lain:

((عن أسامة بن زيد t قال قلت : يا رسول الله لم أرك تصوم شهرا من الشهور ما تصوم من شعبان قال ذلك شهر يغفل الناس عنه بين رجب ورمضان وهو شهر ترفع فيه الأعمال إلى رب العالمين فأحب أن يرفع عملي وأنا صائم)). قال الشيخ الألباني : حسن.

Usamah bin Zaid t bertanya kepada Nabi r: Ya Rasulullah aku tidak melihat engkau berpuasa dalam bulan dari bulan-bulan (selain Ramadhan) sebagaimana engkau berpuasa pada bulan Sya’ban? Jawab beliau: “Bulan itu banyak dilalaikan oleh manusia, (sebab) berada antara bulan Rajab dan bulan Ramadhan. Pada hal di bulan itu amal-amal diangkat naik kepada Robbul’alamin. Maka suka ketika amalku diangkat, aku sedang berpuasa”[20. HR. Nasa’i no (2357) dihasankan oleh syeikh Al Baany.].

Dan dalam sabda yang lain:

عن عبد الله بن السائب t : أن رسول الله r كان يصلي أربعا بعد أن تزول الشمس قبل الظهر وقال: ((إنها ساعة تفتح فيها أبواب السماء وأحب أن يصعد لي فيها عمل صالح)). قال الشيخ الألباني : صحيح.

Dari Abdullah bin Saib t bahwa Rasulullah r shalat empat rakaat setelah matahari tergelincir sebelum shalat zuhur. Dan beliau bersabda: “Sesungguhnya ia adalah waktu dibukanya pintu langit, dan aku menyukai amal sholehku naik pada saat itu”[21. HR. Tirmizi no (478) dishahihkan oleh syeikh Al Baany.].

Kata-kata naik dalam hadits di atas tidak bisa ditakwil dengan makna diterima, karena ia dibatasi dengan waktu tertentu. Sedangkan diterimanya amal sholeh oleh Allah pada setiap saat, tidak dibatasi dengan waktu tertentu.

Redaksi kesebelas: Rasulullah r mengisahkan tentang perjalanan mi’raj beliau mulia dari langit yang pertama sampai naik ke langit yang ketujuh dan terus naik ke Siratul Muntaha, di sana beliau menerima perintah shalat yang lima waktu secara langsung dari Allah (tanpa melalui malaikat Jibril). Ini adalah dalil sangat kuat dan valid yang menyatakan bahwa Allah berada di atas seluruh makhluk-Nya. Sebagaimana terdapat dalam penggalan hadits tersebut:

« ثُمَّ عَرَجَ بِى حَتَّى ظَهَرْتُ لِمُسْتَوًى أَسْمَعُ فِيهِ صَرِيفَ الأَقْلاَمِ, فَفَرَضَ اللَّهُ عَلَى أُمَّتِى خَمْسِينَ صَلاَةً – قَالَ – فَرَجَعْتُ بِذَلِكَ حَتَّى أَمُرَّ بِمُوسَى فَقَالَ مُوسَى عَلَيْهِ السَّلاَمُ مَاذَا فَرَضَ رَبُّكَ عَلَى أُمَّتِكَ – قَالَ – قُلْتُ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسِينَ صَلاَةً. قَالَ لِى مُوسَى عَلَيْهِ السَّلاَمُ فَرَاجِعْ رَبَّكَ فَإِنَّ أُمَّتَكَ لاَ تُطِيقُ ذَلِكَ …».

“Kemudian aku dibawa naik lagi sampai aku mendengar goresan aqlaam (pena-pena). Lalu Allah mewajibkan atas umatku lima puluh shalat. Maka aku kembali sampai aku melewati Musa u. Ia bertanya apa yang diwajubkan Robbmu atas umatmu? Aku jawab: Ia mewajibkan limu puluh shalat atas mereka. Maka musa berkata: kembaliah kepada Robbmu (mohon keringanan) sesungguhnya umatmu tidak mampu melakukan hal itu…”. [ 22. HR. Muslim no (433).]

Kisah isra’ dan mi’raj adalah dalil yang paling valid dalam hal ini, yaitu bahwa Allah berada di atas seluruh makhluk. Peristiwa mi’raj adalah merupakan mu’jizat yang agung bagi Nabi r, ketika beliau dipanggil untuk menerima perintah shalat di tempat yang paling mulia yaitu di Siratulmuntaha di atas langit yang tujuh. Kalau ada yang mengatakan bahwa kedekatan Muhammad r dengan Allah saat berada di Siratulmuntaha di atas lengit yang tujuh sama dengan nabi Yunus yang berada dalam perut ikan. Sesungguhnya orang tersebut tidak mengakui keutamaan dan kemulian yang diberikan Allah kepada Rasulullah r.

Suatu hal yang aneh tapi nyata dan amat mengheran kita adalah ketika orang yang sering merayakan peristiwa isra’ dan mi’raj tidak mengakui bahwa Allah berada di arah yang Maha Tinggi di atas seluruh makhluk.

,,,Semoga Allah senantiasa menetapkan kita di atas kebenaran,,,

 



Artikel asli: https://dzikra.com/di-mana-allah-bagian-ke-2/